Pemekaran Daerah : ANTARA KESEJAHTERAAN RAKYAT ATAU KESEJAHTERAAN ELITE?

Implementasi kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 1999 berimplikasi pada bertambahnya jumlah daerah otonomi baru (DOB). Berawal dari usulan masyarakat dan proses politik di daerah sampai memperoleh legitimasi dari DPOD (dewan pertimbangan otonomi daerah) sebagai daerah otonomi baru. DPOD merupakan bentukan pemerintah berdasarkan PERPRES Nomor 91 tahun 2015 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang dibentuk dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan tugas pentingnya yaitu memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai rancangan kebijakan yang meliputi a) Penataan daerah; b) Dana dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus; c) Dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; dan d) Penyelesaian permasalahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan/atau perselisihan antara daerah dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian.

Sejak 1999 sampai saat ini, terdapat penambahan 8 provinsi baru, yang terakhir Provinsi Kaltara yang resmi berdiri tahun 2012, dengan total lebih dari 220 daerah otonomi baru. Lantas, berhasilkah Daerah Otonomi Baru tersebut membawa kesejahteraan rakyatnya? Sungguh miris hasilnya, hampir 80% DOB belum berhasil membawa kemajuan dan kesejahteraan seperti yang diharapkan. Layanan publik masih belum memuaskan, pertumbuhan ekonomi masih stagnan, angka kemiskinan masih tinggi, anggaran pembangunan masih membebani keuangan negara dan juga masih rentan terhadap praktik korupsi. Melihat hasil tersebut, sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah pusat memberlakukan moratorium terhadap pemekaran daerah menunggu kajian grand desain pemekaran daerah yang tepat untuk Indonesia. Namun gelombang pengajuan untuk pemekaran daerah tak pernah surut, proposal usulan pemekaran daerah terus menumpuk di pemerintah pusat dengan harapan bisa segera disetujui untuk dimekarkan.

 

Makna Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah sebetulnya memiliki makna penting kaitannya dalam pembangunan daerah dan pelaksanaan layanan publik yang prima bagi masyarakat. Melalui birokrasi pemerintah yang lebih efektif dan efisien serta berdaya guna diharapkan mampu mewujudkan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui konsepsi otonomi daerah, lahirnya daerah otonomi baru adalah semangat daerah membangun dengan kewenangan mengatur dan mengelola daerahnya sendiri untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.

 

Mengapa Daerah Dimekarkan?

Banyaknya jumlah proposal pembentukan daerah otonomi baru (DOB) dikarenakan beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, faktor rentang kendali suatu wilayah daerah yang terlalu luas, sehingga pelayanan publik kurang optimal. Dalam upaya mendekatkan dan meningkatkan pelayanan masyarakat, maka perlu menghadirkan suatu institusi dan struktur pemerintahan daerah baru yang diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik. Kedua, upaya mengurangi kesenjangan wilayah melalui pemerataan pembangunan, karena pusat pertumbuhan identik dengan kawasan ibukota dan terjadi ‘gap’ yang tinggi dengan kawasan hinterlandnya. Rentang kendali yang jauh dari pemerintahan menjadikan ketertinggalan daerah, dan ini mendasari pentingnya pemerintahan sendiri yang tentunya lebih memahami potensi, kebutuhan dan permasalahan daerah. Ketiga, aspek politik dan bagi-bagi kekuasaan. Daerah otonomi membutuhkan perangkat daerah baru, kepala daerah baru, anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) baru. Implikasinya adalah adanya ‘kue’ APBD yang menarik bagi elite lokal. Akibatnya seringkali terjadi konflik perebutan kekuasan oleh elite lokal, termasuk di dalamnya melibatkan rakyat dalam wujud konflik horizontal yang sudah terjadi pada beberapa daerah di Indonesia. Apalagi bila ada oknum yang telah dinilai berjasa dalam upaya memperjuangkan pemekaran daerah dengan konsekuensi mengharapkan posisi tertentu di daerah baru itu. Keempat, upaya untuk optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam (SDA) yang ada, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai pengelola SDA dan pembangunan infrastruktur pendukung dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Harapannya, kemandirian daerah akan tercapai dengan penguatan pada tiga aspek tersebut.

 

Menilai Kelayakan Daerah untuk Dimekarkan

Sebelum suatu daerah disetujui dan ditetapkan menjadi daerah otonomi baru, ada beberapa hal persyaratan yang harus dipenuhi. Penilaian kelayakan didasarkan pada faktor dan indikator yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, yaitu 1). faktor kependudukan, 2) faktor kemampuan ekonomi, 3) faktor potensi daerah, 4) faktor kemampuan keuangan, 5) faktor sosial budaya, 6) faktor sosial politik, 7) faktor luas daerah, 8) faktor pertahanan, 9) faktor keamanan, 10) faktor kesejahteraan masyarakat dan, 11) faktor rentang kendali. Kesebelas faktor tersebut dengan indikator penilaiannya harus bisa dipenuhi oleh suatu daerah dengan hasil penilaian klasifikasi mampu, sehingga proses pemekaran layak untuk disetujui. Faktor lain juga bisa menjadi alasan dibentuknya daerah otonomi baru, seperti terbentuknya Provinsi Kaltara pada tahun 2012.  Faktor pertimbangan pertahanan keamanan (Hankam) sangat kental dan menjadi aspek penting ditetapkannya Kaltara sebagai provinsi yang berada di kawasan strategis nasional kawasan perbatasan negara. Harapannya ketertinggalan pembangunan di kawasan perbatasan Kaltara sebagai beranda terdepan negara bisa segera dikejar dengan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat.

 

Ironi Pemekaran Daerah

Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa daerah baru yang digadang-gadang menjadi penolong dalam upaya pengentasan kemiskinan, pelayanan publik yang prima, dan mengantarkan kesejahteraan masyarakat masih sulit untuk diwujudkan. Faktor tersebut antara lain, 1) Pemekaran daerah baru bisa jadi identik dengan pemerataan korupsi di daerah. Kepala daerah apabila tidak berhati-hati, tidak amanah dan tidak bertanggungjawab terhadap daerah yang dipimpinnya, bisa saja tergelincir pada kasus korupsi. Sampai dengan tahun 2016, informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis bahwa ada 18 gubernur dan 343 bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Lantas bagiamana mereka bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan daerahnya kalau seperti ini?. 2) Kebijakan pemerintah daerah yang kurang pro terhadap masyarakat miskin, dengan alasan upaya meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) semakin membebani kehidupan ekonomi masyarakat. 3) Kurangnya inovasi dan terobosan pemerintah daerah dalam mengejar ketertinggalan pembangunan. Dengan terbentuknya daerah baru ada harapan baru yang disandarkan pada pundak kepala daerah baru. Bagaimana potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan dukungan infrastruktur bisa menggerakkan ekonomi wilayah. Terobosan-terobosan penting dilakukan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat yang tentunya tidak menabrak terhadap peraturan-peraturan yang menjadi pedoman dalam pembangunan. 4) Pertimbangan politis dan lobi-lobi elite lokal yang memaksakan daerah berhasil dimekarkan padahal tidak layak dari pertimbangan faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan. Sehingga dengan modal dasar pembangunan yang terbatas tersebut sulit untuk melakukan akselerasi pembangunan. Kecenderungan yang terjadi daerah sulit maju, membebani keuangan pemerintah pusat dan hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

 

Kritik Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah Secara Umum

Otonomi daerah berupaya mendekatkan pemerintah dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Kemandirian juga menjadi aspek penting dalam otonomi daerah, karena dengan mandiri diharapkan mekanisme penyelesaian bisa lebih efektif, efisien dan adil. Daerahlah yang lebih paham masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki dan kemampuan yang dimiliki. Semangat ini akan membangkitkan partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik secara luas dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Banyak hal-hal positif dari tujuan penerapan otonomi daerah, namun tidak bisa terlaksana di lapangan. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya mindset aparat birokrasi yang sulit berubah, keterbatasan sumber daya manusia, sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata, berebut kekuasaan oleh elite lokal dan lainnya.

Mindset ini harus diubah, dalam artian kapasitas untuk pemerintah daerahnya harus memadai sehingga dapat menjamin pelaksanaan otonomi daerah berjalan optimal. Selain kapasitas aparatur pemerintah daerah hal terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah aparat daerah haruslah amanah, jujur, siap melayani dan ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya. Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politik dan penguasaan asset daerah menjadi persoalan yang kerap muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Permasalahan politik lebih rumit ketika semangat membangun daerah dilabeli dengan politik bahwa “putra daerah” merupakan sosok yang layak memimpin daerah. Hal tersebut bisa menimbulkan hubungan yang kurang baik antara warga pendatang yang sudah lama berdomisili di daerah tersebut dan mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-orang yang potensial dan berkualitas tetapi bukan putra daerah akan cenderung tersingkir dalam proses politik di daerah dan kurang berkontribusi dalam pembangunan. Semangat daerah membangun dengan memilih putra asli daerah tidaklah salah, tetapi dilihat juga apakah putra daerah tersebut memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memimpin daerah. Semangat bersama, tujuan bersama, bekerja bersama melalui peran aktif masyarakat sangat membantu pemerintah daerah dalam pembangunan. Dalam hal ini harus diingat pemerintah bekerja untuk kesejahteraan masyarakat daerahnya bukan untuk pihak-pihak  maupun kelompok yang haus akan kekuasaan di birokrasi.