Catatan Peringatan Hari Bumi, 22 April 2017: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KAWASAN PESISIR DAN LAUT

Perubahan iklim merupakan salah satu dampak peristiwa pemanasan global dan menjadi isu dan tantangan dunia internasional. Perubahan iklim mempengaruhi kehidupan di wilayah daratan, wilayah laut, ataupun wilayah peralihan daratan dan lautan (pesisir). Kawasan pesisir dengan beragam pemanfaatan, seperti kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya, jasa transportasi pelabuhan, jasa lingkungan pariwisata, kawasan konservasi dan sebagainya. Namun, pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berlebihan dan perilaku masyarakat pesisir yang kurang bertanggungjawab terhadap kelestarian sumberdaya turut berperan dalam kerusakan lingkungan pesisir.

Dampak Terhadap Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Kelautan

Perubahan iklim yang berdampak pada wilayah pesisir diataranya perubahan salinitas, ataupun perubahan cuaca ekstrem yang kemudian mengakibatkan tingginya gelombang, meningkatnya kecepatan arus, serta meningkatnya intensitas badai di laut. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan rantai makanan pada ekosistem laut, bergesernya musim ikan, serta berubahnya fishing ground ikan tertentu. Perubahan suhu yang meningkat secara signifikan pada waktu-waktu tertentu juga mengakibatkan pemutihan terumbu karang. Pemutihan terumbu karang tersebut disebabkan oleh hilangnya alga yang biasanya bersimbiosis dengan karang. Akibat dari pemutihan terumbu karang tersebut, beberapa spesies ikan yang berhabitat dan bersimbiosis di terumbu karang bermigrasi ke tempat lain. Hal inilah yang menyebabkan berubahnya fishing ground.

Naiknya muka air laut juga berdampak pada masyarakat yang mengandalkan kawasan pesisir dan lautan sebagai sumber kehidupan. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan arah dan kecepatan angin ekstrem sehingga dapat memicu terjadinya badai. Jika terjadi badai di laut, nelayan tidak bisa melaut sehingga tidak ada penghasilan. Begitu pula jika nelayan sudah pergi melaut dan terjadi badai di tengah lautan, nelayan pun tidak akan memperoleh ikan, bahkan keselamatan nelayan pun menjadi terancam. Pada prinsipnya, perubahan iklim mengakibatkan biota laut yang tergolong sensitif akan terancam mengalami kepunahan. Sedangkan, biota yang adaptif akan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi pada perairan. Jika kondisi tersebut terus-menerus terjadi, sangat dimungkinkan populasi dari ikan jenis tertentu akan terus berkurang.

Dampak terhadap Iklim dan Cuaca

Pengaruh perubahan iklim bagi keadaan iklim dan cuaca ditunjukan oleh kecendrungan curah hujan yang  cenderung terganggu. Hal ini ditunjukkan dari pergeseran musim hujan dan jumlah curah hujan. Hal ini tentunya berdampak kepada sistem hidrologi di kawasan pesisir. Hubungannya dengan defisit dan surplus air yang ada di kawasan pesisir yang seringkali mengganggu kegiatan masyarakat secara umum. Terjadinya hujan asam yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan mengganggu ekosistem pesisir, seperti berkurangnya biota laut tertentu yang sensitif terhadap hujan asam.

Perubahan cuaca dan iklim juga berdampak luas kepada masyarakat terkait dengan mata pencaharian dan resiko bencana yang ditanggung masyarakat. Perubahan iklim juga mengakibatkan cuaca ekstrem yang terjadi sewaktu-waktu. Angin kencang dan badai di lautan tentunya juga akan mengganggu kegiatan nelayan. Perubahan cuaca yang cepat dan ektrem sering ditandai dengan badai, hujan besar hingga kekeringan pada kawasan pesisir.

Dampak terhadap Kenaikan Muka Air Laut

Salah satu dampak yang ditimbulkan dari adanya pemanasan global dan perubahan iklim terhadap wilayah pesisir, yaitu kenaikan permukaan air laut. Peningkatan muka air laut ini memiliki beberapa dampak yaitu; 1) Timbulnya bencana di daerah pasang surut seperti banjir akibat pasang air laut, erosi dan sedimentasi pantai, serta hilangnya populasi mangrove, yang sering dimanfaatkan juga sebagai penahan gelombang dan pelindung pantai.  Secara ekstrem, naiknya muka air laut dapat mengancam atau menenggelamkan daratan. 2) Dampak ekologis yaitu terjadinya intrusi air laut, dan evaporasi kolam garam. Kondisi lahan yang berubah tentunya juga akan mengakibatkan hilang atau rusaknya ekosistem pesisir. Intrusi air laut akan mengakibatkan gangguan pada air tanah karena kadar garam dan pH air menjadi bertambah. Akibatnya, sumber air tidak dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat dan mengganggu keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Hilangnya hutan mangrove juga dapat berakibat pada tidak adanya struktur penahan gelombang laut sehingga ketika gelombang laut tinggi akan langsung berdampak pada lahan terbangun di sepanjang kawasan pesisir. 3) Kenaikan muka air laut dapat mengakibatkan hilangnya matapencaharian masyarakat, khususnya masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pekerja tambak, kolam, atau budidaya air laut. Dampak yang lainnya adalah kerusakan/hilangnya sarana prasarana publik, korban manusia, dan harta benda ketika terjadi pasang air laut. 4) Dampak yang ditimbulkan terhadap kelembagaan atau hukum berupa perubahan batas-batas maritim, terutama pada pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga.

Dampak terhadap Peningkatan Resiko Bencana

Wilayah pesisir rentan terhadap bencana, terutama bencana yang diakibatkan oleh aktivitas laut. Ancaman bencana yang dapat terjadi pada wilayah pesisir, khususnya di Indonesia adalah naiknya muka air laut, gempa bumi, serta tsunami. Seiring dengan meningkatnya intensitas gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim, khususnya pencairan es sehingga volume air laut bertambah. Peningkatan muka air laut dapat mengakibatkan pasang dan tenggelamnya daratan. Selain itu, kawasan pesisir juga rentan terhadap gempa tektonik bawah laut dan tsunami. Peningkatan resiko bencana juga ditunjukkan dari peningkatan muka air laut yang berdampak kepada ancaman bencana seperti banjir rob, pasang tinggi, abrasi, dan pengaruhnya kepada aspek lainnya. Hal ini menyebabkan perlunya penanganan perubahan iklim karena resiko bencana merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang luas dan besar.

Dampak terhadap aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat

Terkait perubahan iklim, kerentanan masyarakat terjadi ketika hilangnya matapencaharian, lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Beberapa dampak yang ditimbulkan terhadap sosial budaya masyarakat pesisir yaitu; 1) Berkurangnya pendapatan nelayan tangkap karena perubahan suhu air yang merusak terumbu karang dan akan menyebabkan penurunan populasi ikan, 2) Meningkatnya biaya perbaikan terhadap sarana prasarana yang mengalami kerusakan akibat tingginya gelombang air laut, misalnya area tambak yang dihantam gelombang pasang, perahu yang rusak diterjang ombak, 3) Tergganggunya mata pencaharian petani akibat perubahan waktu dan lokasi menangkap ikan. Dampak yang ditimbulkan lainnya adalah dampak pergeseran jenis mata pencaharian dari penduduk dikarenakan terdapat permasalahan-permasalahan yang timbul dari pemanasan global. Mata  pencaharian yang umum pada masyarakat pesisir tidak bisa lepas dari sektor perikanan dan kelautan. Akibat dari perubahan iklim, banyak masyarakat pesisir yang sudah mulai meninggalkan mata pencaharian di sektor tersebut karena dianggap kurang mampu menjamin kesejahteraan serta faktor resiko yang tinggi apabila mempertahankan mata pencaharian tersebut.

Pengurangan Dampak Perubahan Iklim terhadap Wilayah Pesisir

A. Kebijakan Penataan Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)

Wilayah yang paling rentan terhadap fenomena perubahan iklim adalah kawasan pesisir dengan gejala yang timbul adalah naiknya muka air laut akibat mencairnya es di kutub. Hal tersebut mengakibatkan bertambahnya volume air laut dan memicu naiknya muka air laut. Jika muka air laut semakin bertambah tinggi, dataran pesisir menjadi rawan tergenang. Selain itu, adanya ancaman badai yang semakin kuat karena peningkatan suhu air laut. Tanpa perencanaan yang tepat akan membuat kawasan pesisir menjadi terancam. Pengelolaan kawasan pesisir dibutuhkan tidak hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi saja namun juga berkaitan dengan kepentingan konservasi. Dari sisi penataan ruang, maka perlu ditentukan deliniasi kawasan yang mampu mengantisipasi dampak perubahan iklim, misalnya dengan pengaturan yang lebih ketat dalam pemanfataan ruang kawasan pesisir serta mengamanatkan untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan emisi gas rumah kaca, yang menjadi pemicu perubahan iklim. Rencana tata ruang darat yang diakomodir dalam RTRW harus selaras dengan rencana tata ruang perairan laut (RZWP3K).

B. Pengelolaan berkelanjutan, keseimbangan pemanfaatan antara sumberdaya dan kebutuhan masyarakat

Kondisi kawasan pesisir saat ini banyak diantaranya yang belum dikelola dengan baik karena kepentingan ekonomi lebih menjadi prioritas. Kehidupan masyarakat yang menggantungkan mata pencaharaian terhadap kegiatan yang berada di pesisir tidak banyak memberikan perubahan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat kawasan pesisir. Harga kebutuhan yang terus naik, kondisi ekonomi masyarakat yang terbatas menjadikan perekonomian sangat sulit berkembang. Pengelolaan pesisir untuk menangani masalah perubahan iklim dapat di atasi dengan pengendalian pembangunan yang ada di sekitar daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengendalian pembangunan salah satunya dapat dilakukan dengan pemanfataan ruang yang difokuskan untuk keseimbangan kawasan lindung dan budidaya. Wilayah pesisir memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar. Hal tersebut membuat rentan terhadap over-eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, diperlukan pula mekanisme perizinan dan pemantauan pengelolaan wilayah pesisir yang lebih intensif. Dengan demikian, perlu adanya pengendalian mengenai pemanfaatan sumber daya yang ada supaya tidak terjadi eksplorasi secara berlebihan dan mengurangi terjadinya perubahan iklim.

Penataan Ruang Wilayah Pesisir untuk Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

Masalah perubahan iklim bumi menjadi perhatian masyarakat gobal, perubahan iklim tersebut diakibatkan karena bertambahnya emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Perubahan iklim disebabkan karena pemanasan global, yaitu fenomena naiknya suhu permukaan bumi karena meningkatnya efek rumah kaca. Tanda-tanda pemanasan global sudah terlihat di Indonesia dalam dua puluh terakhir ini dengan ditunjukkan oleh tiga kali musim kemarau yang sangat panjang dan mempunyai dampak merugikan. Pada tahun 1983, di Pulau Pari, Teluk Jakarta terjadi peningkatan suhu air ambien selama 12 minggu dari suhu normal 28oC menjadi 33oC. Akibatnya terjadi pemutihan terumbu karang yang mematikan banyak karang dan merugikan sektor perikanan. Selain itu, kemarau berkepanjangan yang terjadi di Indonesia dapat menyebabkan kebakaran hutan yang luas dan merugikan negara serta masyarakat setempat. Musim kemarau juga menyebabkan produksi padi menurun yang menyebabkan Indonesia yang sudah mencapai swasembada beras sejak tahun 1994 terpaksa mengimpor beras dari India, Thailand, dan Korea Selatan. Di Indonesia indikasi dampak perubahan iklim global akibat naiknya suhu udara dapat dilihat dari beberapa kejadian, yaitu; 1) Habisnya konsentrasi es yang berada di puncak Jayawijaya Papua, 2) Kekeringan makin sering terjadi sehingga berdampak pada ketahanan pangan dan ketergantungan beras/pangan dari import, 3) Mudah terjadi kebakaran kawasan lahan dan hutan terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat perubahan pola hujan, 4) Penurunan kuantitas dan kualitas jumlah curah hujan, 5) Maraknya terjadinya banjir.

Memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang, diantaranya; 1) Pada kawasan lindung, arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi, 2) Pada kawasan budidaya, maka perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar terutama untuk kota-kota pantai yang memiliki pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan, 3) Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting bagi pengembangan perekonomian nasional namun mempunyai kerentanan terhadap kenaikan permukaan air laut dan banjir pada daerah-daerah tertentu, 4) Diperlukan antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1995) melalui relokasi, akomodasi, dan proteksi, 5) Pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu khususnya hutan tropis untuk mengurangi pemanasan global dan mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan yang berada di kawasan hilir, 6) Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya dengan tujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (sarana dan prasarana), mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisisr dan para pemukimnya (inhabitans) dari ancaman kenaikan permukaan air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya, 7) Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, 8) Penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, 9) Penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas, serta 10) Diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan keterpaduan, pendekatan bottom up mengedepankan peranan masyarakat, kerjasama antar wilayah, dan penegakan hukum.