POROS MARITIM DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERBASIS POTENSI SEKTOR KELAUTAN

Sebagai salah satu negara yang memiliki geografis gugusan kepulauan terbesar di dunia dengan tiga-perempat wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat besar. Perkiraan potensi ini mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun (tujuh kali APBN 2016) dan tentunya memiliki potensi penyediaan lapangan pekerjaan untuk 40 juta jiwa dengan prosentase 33% dari total angkatan kerja (Dahuri, 2014). Dalam jangka pendek dan menengah (periode akhir 2014-2019), Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia memiliki target agar sebelas sektor kelautan (perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri dan jasa maritim, kehutanan pesisir, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, serta SDA kelautan non konvensional) di bawah koordinasi Kemenko Maritim mampu memecahkan berbagai masalah dari masing-masing sektor kelautan tersebut. Lebih dari itu, ekonomi kelautan juga dapat berkontribusi signifikan pada pemecahan masalah pengangguran, kemiskinan, disparitas antar wilayah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi serta pada permasalahan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan daya saingnya.

PROSPEK POROS MARITIM DUNIA

Transformasi besar sedang terjadi di abad ke-21, terjadi pergeseran pusat gravitas geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia mulai bangkit dan dinamis ekonominya dengan 40% perdagangan dunia ada di kawasan ini. Dinamika ini menunjukkan bahwa peran laut kedepan semakin penting, terlebih dengan posisi geografis Indonesia yang sangat strategis. Lalu lintas perdagangan dunia melintasi Indonesia dengan peran tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia berada ditengah-tengah proses perubahan strategis secara geografis, geo-politik, geo-ekonomi sebagai poros maritim dunia.

Posisi maritim dunia membuka peluang Indonesia dalam membangun kerjasama regional dan internasional yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Terdapat lima pilar utama dalam agenda mewujudkan poros maritim dunia, yaitu: pertama, kesadaran penuh bangsa Indonesia akan besarnya potensi kekayaan kelautan dan pesisirnya sehingga menggeser reorientasi dari daratan menuju laut sebagai masa depan bangsa. Kedua, masyarakat pesisir menjadi pilar utama terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan mengelola sumberdaya laut dan pengembangan industri perikanan. Ketiga, prioritas pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar pulau dengan membangun pelabuhan, industri perkapalan dan fasilitas penunjang pendorong petumbuhan sebelas sektor ekonomi kelautan. Keempat, laut menjadi pemersatu dalam  kerjasama sektor kelautan antar negara. Kerjasama yang menguntungkan secara ekonomi, keamanan wilayah dan keberlanjutan sektor kelautan, Upaya yang dilakukan yaitu meminimalkan konflik pemanfaatan ruang laut, mencegah pencurian ikan (illegal fishing), perdagangan ilegal/penyelundupan, sengketa wilayah, pelanggaran kedaulatan, perompakan dan pencemaran laut. Kelima, berada di lokasi strategis persimpangan lintas pelayaran niaga utama dunia, Indonesia bertanggungjawab dalam menjaga stabilitas keamanan laut. Perlu membangun kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan negara, kekayaan maritim serta tanggungjawab menjaga keselamatan jalur pelayaran dan keamanan maritim.

Menjaga stabilitas keamanan wilayah menjadi tugas penting bersama dengan tujuan kawasan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia aman untuk perdagangan dunia. Potensi maritim yang belum dimanfatkan dengan optimal bisa ditingkatkan melalui kerjasama. Salah satunya dengan negara-negara mitra ASEAN di East Asia Summit (EAS) untuk mewujudkan ASEAN Masterplan on Connectivity, khususnya konektivitas dan infrastruktur maritim. Kerjasama bisa dilakukan di bidang energi, ketahanan pangan, manufaktur dan menjaga kelestarian bahari.

MENDONGKRAK PERTUMBUHAN EKONOMI

Peluang dan harapan besar dalam pengembangan Indonesia sebagai poros maritim dunia harus diraih dengan kerja keras. Banyak hal yang harus disinergikan dan dioptimalkan dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Termasuk diantaranya adalah alokasi anggaran untuk membangun sektor kemaritiman. Akibat dari perlambatan ekonomi, pada tahun 2017, negara menghadapi permasalahan serius yakni berupa defisit anggaran yang semakin besar dengan penerimaan negara lebih kecil ketimbang target capaiannya. Sehingga pemerintah terpaksa untuk memangkas anggaran belanja pembangunan di hampir keseluruhan kementerian, lembaga non-kementerian dan transfer uang daerah. Bahkan DPR pun berencana untuk mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Masalah utama lainnya adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal 1 tahun 2017 yang hanya memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9 persen dari target 5,4 persen. Pada kuartal 1 tersebut, pertumbuhan ekonomi pun lebih didominasi oleh sektor keuangan dan sektor rill non-tradable yang sedikit menyerap tenaga kerja, yakni hanya sekitar 40.000 sampai 200.000 orang pada setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Sektor-sektor riil tradable yang selama ini menjadi andalan nasional dan banyak menyerap tenaga kerja justru mengalami penurunan, sektor ini meliputi industri tekstil, otomotif, elektronik, pertambangan dan energi, perkebunan, dan sektor daratan lainnya.

KEBIJAKAN SEKTOR KELAUTAN

Kebijakan revolusioner dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) menjadi sorotan utama pada pengembangan ekonomi kelautan Indonesia. KKP bersama TNI-AL, Polri, Kejaksaan dan BAKAMLA bekerjasama pada pemberantasan IUU (illegal, unregulated and unreportedfishing oleh nelayan asing dan penegakan kedaulatan. Dengan dalih untuk pelestarian sumber daya ikan semua alat tangkap aktif (pukat tarik dan pukat hela), yang selama ini digunakan oleh 70% nelayan Indonesia pun dilarang untuk beroperasi. Kapal pengangkut ikan mandiri maupun yang tergabung dalam satu perusahaan tangkap (a group fishing) serta kapal pengangkut ikan kerapu hidup untuk tujuan ekspor juga dimoratorium. Kebijakan pembatasan ukuran kapal ikan pun diterapkan yakni dengan tidak diperbolehkannya ukuran kapal yang melebihi 150 GT, sehingga sumber daya ikan pada laut dalam, laut lepas dan ZEE Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, juga terdapat kebijakan kenaikan PHP (Pungutan Hasil Perikanan) sebesar 100-1000 persen dari nilai 2014 yang memukul sebagian besar pengusaha perikanan dan nelayan. Kebijakan moratorium perdagangan lobster, kepiting dan rajungan ukuran tertentu atau sedang bertelur juga diterapkan untuk menjaga kelestarian sumber daya laut namun memiliki dampak negatif pada matinya ekonomi masyarakat pesisir.

Kebijakan yang reskriktif dan mendadak (sudden death) dari KKP tanpa sosialisasi dan alternatif solusi ini menjadikan banyaknya industri pengolahan hasil perikanan di hampir semua kawasan industri perikanan (Tual, Ambon, Bitung, Benoa, Muara Baru, Jakarta sampai ke Belawan) gulung tikar karena kekurangan bahan baku ikan. Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,7 milyar dolar AS pada tahun 2014 menjadi sekitar 2 milyar dolar AS pada 2015. Demikian juga halnya dengan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) perikanan, pada 2004 mencapai 350 milyar, pada 2014 sebesar 250 milyar dan pada tahun 2016 hanya sekitar 70 milyar. Sehingga dampak berbagai masalah negatif dari kebijakan-kebijakan baru tersebut direspon oleh pemerintah dengan menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 2016 dan Keppres Nomor 3 Tahun 2017 tentang Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional.

Inpres dan Keppres tersebut menginstruksikan KKP dan kementerian terkait untuk merevisi seluruh kebijakan yang menghambat usaha di bidang perikanan. Pembangunan kelautan akan diarahkan pada pembangunan kelautan berkelanjutan yakni untuk kesejahteraan manusia, pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif, lapangan kerja dan daya saing sesuai dengan batas-batas kelestarian sumber daya alam serta daya dukung lingkungan. Menurut Dahuri, pembangunan kelautan berkelanjutan dapat terlaksana dengan perwujudan tiga program utama yakni revitalisasi seluruh sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru dan pengembangan sektor dan bisnis kelautan baru. Ketiga program tersebut harus mampu untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas serta keberlanjutan pada setiap sektor perikanan.

Pada sektor perikanan tangkap, kebijakan larangan pemanfaatan pukat tarik dan hela dapat diubah dengan pengendalian jumlah kapal dan cara operasi di setiap wilayah perairan. Kegiatan alih muatan ikan di tengah laut (transhipment) apabila sepanjang ikannya didaratkan dan diproses di Indonesia harus segera dihidupkan kembali. Kembali mengizinkan pengoperasian kapal ikan dengan ukuran 200-400 GT di perairan laut lepas, laut dalam, wilayah laut perbatasan dan ZEEI yang menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal asing. Perlu penambahan kapal ikan pada perairan yang masih underfishing seperti pada wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, Laut Natuna, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI. Sebaliknya, pada perairan laut yang overfishing seperti di utara Jawa, Selat Malaka, dan selat Sulawesi, jumlah kapal ikan harus dikurangi sampai pada batas potensi produksi lestari (maximum sustainable yield = MSY). Secara nasional, pada tahun 2016, produksi perikanan tangkap laut mencapai 6,6 juta ton atau sebesar 70 persen dari MSY (9,93 juta ton per tahun).

OPTIMALISASI BUDIDAYA & BIOTEKNOLOGI PERIKANAN

Perikanan budidaya di perairan laut (mariculture) dan perairan payau (tambak) memiliki potensi akuakultur yang terbesar di dunia, yakni sebesar 100 juta ton per tahun dengan nilai ekonomi 200 milyar dolar AS per tahun. Pada tahun 2016, total produksi akualkultur sebesar 15,7 juta ton atau 16 persen dari total produksi perikanan, jika dapat mengusahakan 100.000 hektar tambak udang vannamei intensif (3,5 persen total potensi luas tambak) maka dapat diproduksi 4 juta ton per tahun. Dengan harga udang on farm 5 dolar AS perkilogram, maka bisa dihasilkan 20 milyar dolar AS per tahun. Proyeksi ini dapat dibandingkan dengan nilai ekspor seluruh produk perikanan Indonesia pada tahun 2016 yang hanya memperoleh 3,5 milyar dolar AS. Tambak intensif 100.000 hektar tersebut dapat menampung 400.000 pekerja.

Industri pengolahan hasil ikan harus diperkuat dengan peningkatan kualitas diversifikasi dan sertifikasi produk. Nilai tambah dari produk diharapkan meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir. Selain kegiatan revitalisasi dan hilirisasi migas dan mineral di wilayah pesisir dan laut, sektor ESDM juga harus mengembangkan industri mineral dan energi kelautan yang baru, seperti energi gelombang, pasang surut, arus laut, biofuel dari algae laut, ocean thermal energi conversion (OTEC), mangan dan phosphate nodules. Pulau-pulau kecil di Indonesia juga bias dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Negara bias mendapat dana segar berupa uang jaminan hak guna pakai selama 35-50 tahun dengan nilai 100 juta dolar AS sampai 1 milyar dolar AS per pulau namun dengan persyaratan hak guna pakai yang jelas dan tidak merusak kelestarian lingkungan. Program pembangunan tol laut mencakup pengembangan pelabuhan dan kapal angkut harus dibarengi dengan pembangunan kawasan industri dan pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, khususnya di sepanjang wilayah pesisir ALKI-I, II dan III.

Potensi industri bioteknologi kelautan diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi. Industri bioteknologi lautan terdiri dari tiga cabang industri yakni ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut sebagai bahan dasar industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel dan lainnya. Kedua adalah genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih unggul, dan ketiga adalah bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan terbesar namun produk farmasi dan kosmetik dari olahan teknologi kelautan masih impor. Industri dan jasa maritim seperti galangan kapal, pabrik jaring dan kabel optik harus terus ditingkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saingnya.

Selain itu, industri dan jasa maritim baru berbasis SDA kelautan non konvesional juga harus dikembangkan, seperti pada industri air laut dalam, perikanan, gas hidrat (shale gas), dan mineral laut dalam. Sehingga diperlukan kualitas SDM kelautan melalui pelatihan dan penyuluhan dan program magang di berbagai SMK, politeknik, perusahaan industri kelautan dan balai latihan kerja. Pemerintah juga harus menyediakan skema kredit perbankan dengan suku bunga dan persyaratan pinjaman yang rendah dan lunak untuk sektor-sektor ekonomi kelautan, memperbaiki kemudahan berbisnis, iklim ekonomi dan kebijakan ekonomi-politik yang kondusif.