Catatan Peringatan Hari Tata Ruang 8 Nopember 2017 : Dengan Tertib Tata Ruang, Wujudkan Kota Malang Bebas Banjir

Kota Malang berkembang sangat dinamis dengan berbagai permasalahan perkotaan yang menyanderanya. Berupaya mencari jalan keluar dari berbagai persoalan sulit yang menjadi harapan masyarakat untuk bisa segera tertangani menjadi agenda penting pengelola kota saat ini. Kemacetan dengan lokasi kawasan yang terus bertambah dengan semakin parah pada akhir pekan, sempadan sungai yang dipenuhi bangunan secara masif, luas dan sebaran ruang terbuka hijau publik yang belum ideal dengan kebutuhan, serta kawasan tergenang air atau banjir terus meluas seperti yang terjadi sekarang dimusim hujan merupakan permasalahan Kota Malang yang cukup serius. Dikepung banyaknya permasalahan perkotaan yang pelik, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk penanganannya. Kunci utamanya adalah komitmen pemerintah kota, kolaborasi stakeholder pembangunan dan tentunya partisipasi aktif masyarakat untuk terus berkontribusi dalam rangka tujuan bersama mewariskan Kota Malang yang nyaman dan aman untuk anak cucu kelak. Dari rangkaian masalah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ada hubungan antara permasalahan-permasalahan tersebut dengan perkembangan pemanfaatan ruang ruang di Kota Malang.

BANJIR TELAH TIBA

Masalah banjir menjadi hal menarik untuk dikaji mengingat musim hujan telah tiba dan seolah menjadi agenda tahunan kota ini dengan maraknya kawasan tergenangnya. Perkembangan pemanfaatan tata ruang Kota Malang seolah tidak mengindahkan akan ruang air yang seharusnya menjadi aspek penting dalam mendukung pembangunan. Tengok saja, kawasan atau ruas jalan yang menjadi langganan banjir setiap tahun cenderung bertambah, antara lain Jalan Sumbersari, Jalan Bendungan Sutami, Jalan Sukarno Hatta, Jalan Galunggung, Jalan Bondowoso, Jalan Borobudur, Kawasan Pulosari, Jalan Bukit Barisan dan beberapa ruas lainnya. Terdapat kesamaan karakteristik bahwa pada kawasan atau ruas jalan tersebut berkembang pemanfaatan ruang terbangun yang tinggi, yang diperparah dengan rendahnya kinerja prasarana drainase.

KEMANA KAWASAN RESAPAN AIR?

Kawasan resapan air, sebagai area tempat meresapnya air hujan (infiltrasi) ke dalam tanah yang selanjutnya menjadi air tanah merupakan bagian penting pendukung penyediaan air bersih perkotaan kedepan. Proses infiltrasi air hujan secara perlahan-lahan dari permukaan menembus tanah ke air tanah dipengaruhi oleh topografi, jenis tanah, struktur tanah serta faktor buatan yaitu penggunaan lahan suatu kawasan. Tata guna lahan akan mempengaruhi persentase air yang meresap ke dalam tanah dengan aliran permukaan.

Pertumbuhan penduduk Kota Malang yang tinggi dan arus urbanisasinya menyebabkan area permukiman semakin meningkat, menambah kerapatan bangunan dan menutup area peresapan air. Luas lahan terbangun yang terus bertambah berimplikasi pada air hujan yang mengalir di permukaan akan lebih besar dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah. Terdapat pengaruh antara jenis tutupan lahan dengan daya resap tanah terhadap air hujan. Kerapatan bangunan dan bertambahnya lahan terbangun akan memperbesar wilayah yang kedap air sehingga meningkatkan volume aliran permukaan (surface run-off). Meningkatnya volume air permukaan (surface run-off) menyebabkan debit banjir semakin tinggi yang secara langsung akan menimbulkan permasalahan banjir di Kota Malang.

TATA RUANG AIR

Air merupakan sumber daya alam yang membutuhkan waktu lama dalam proses pembaharuannya. Apabila eksploitasi berlebihan terhadap air terjadi (pengambilan air tanah) maka akan mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air perkotaan kedepan akan terganggu. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang darat, laut dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisahkan. Air mengalir melalui ketiga ruang yaitu ruang darat, laut dan udara, perjalanan air secara global tersebut dikenal dengan siklus hidrologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa didalam ruang ada interaksi antara air dengan ruang sebagai tempat manusia dan makhluk hidup melangsungkan kehidupannya.

Tata ruang air sebagai wujud struktur ruang air dan pola ruang air perkotaan. Struktur ruang air merupakan susunan pusat-pusat sumber daya air dan sistem infrastruktur keairan yang berguna sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat perkotaan yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang air merupakan distribusi peruntukan ruang air dalam suatu wilayah. Peruntukan ruang terbagi dua yaitu fungsi lindung sumber daya air (daerah konservasi) dan fungsi budidaya sumber daya air (pendayagunaan sumber daya air). Permasalahan muncul ketika masyarakat mengabaikan fungsi lindung sumber daya air, ruang air berubah fungsi menjadi lahan terbangun. Akibatnya ketika hujan turun, air kembali dan mendapati ruangnya penuh bangunan maka terjadinya banjir tidak dapat dihindari.

Fakta mengejutkan, di Kota Malang terdapat ± 42,58 Ha lahan di sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat berupa RTH namun kenyataan di lapangan berupa lahan terbangunan (permukiman). Kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat berupa RTH dijejali bangunan rumah sebanyak ± 2058 unit yang melanggar garis sempadan sungai.

HUBUNGAN TATA RUANG DAN PERMASALAHAN BANJIR

Dua hal yang menjadi perhatian penting dalam pembangunan Kota Malang yaitu pertumbuhan penduduk dan keterbatasan sumber daya lahan. Apabila tidak dilakukan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang maka akan terjadi eksploitasi terhadap sumber daya lahan. Pembangunan pasti akan terus memberikan tekanan terhadap sumber daya lahan dan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Kawasan resapan air akan terus berkurang, lantas dimana kita akan menyimpan air?

Melihat rencana pola ruang Kota Malang hingga 20 tahun kedepan dengan dominasi lahan permukiman dan terbatasnya kawasan “hijau” perkotaan patut dipertanyakan bagaimana pembangunan kota ini bisa berkelanjutan? Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar laju perkembangan lahan terbangun tidak menghilangkan peluang untuk meresapkan air hujan kedalam tanah seoptimal mungkin? Kalau tidak hati-hati, terhadap kebijakan aspek lingkungan hidup dan aspek teknis jika tidak dijalankan dengan baik maka bisa jadi Kota Malang menjadi kota genangan/banjir di masa depan.

Penanganan permasalahan banjir di Kota Malang selain pendekatan ekologis juga diperlukan pendekatan dari aspek teknis yaitu prasarana drainase yang memadai dan ramah lingkungan. Pembangunan drainase perkotaan harus sesuai dengan ketentuan teknis yaitu; pertama, kapasitas saluran harus mampu menampung debit air dari area sekitarnya (catchment area) dengan curah hujan dan arah aliran air yang dipengaruhi kondisi topografi kawasan; kedua, bahwa saluran air harus terkoneksi dalam satu kesatuan sistem drainase kota dan dipastikan air permukaan akan mengalir dengan baik (mengatur kemiringan saluran) menuju saluran utama; ketiga, saluran drainase dibangun dengan tetap mengoptimalkan fungsi peresapan air (infiltrasi). Beberapa genangan/banjir yang terjadi di Kota Malang juga dikarenakan aspek teknis drainase yang tidak dipenuhi, misalnya ketika hujan turun pada koridor Jalan Sekarno Hatta terjadi titik kumpul air dari arah barat, sebagian arah selatan dan sebagian utara sehingga kawasan Jalan Pisang Kipas akan tergenang dan mengganggu pengguna jalan. Padahal ada potensi saluran drainase primer (Sungai Brantas) di sisi selatan kawasan tersebut yang memiliki kapasitas sangat besar.

Melengkapi pendekatan diatas, kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam penataan ruang adalah menerapkan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap tata ruang. Tidak ada kompromi dalam pemanfaatan ruang, jika terdapat bangunan yang melanggar tata ruang maka bangunan harus dibongkar dan dikembalikan ke fungsi semula. Pelaku pelanggaran ijin pemanfaatan ruang dan pemberi ijin harus diberikan sanksi yang tegas sesuai ketentuan perundang-undangan. Banyak bangunan-bangunan di Kota Malang yang berdiri di atas badan air (sungai/saluran) yang butuh komitmen pemerintah kota dan kesadaran masyarakat untuk bisa mengembalikan fungsi sungai/badan air bisa berfungsi kembali dengan optimal.

KONSEPSI PENANGANAN BANJIR

Penanganan banjir di Kota Malang harus mengedepankan upaya preventif dengan tertib pemanfaatan ruang serta pembangunan prasarana drainase yang ramah terhadap lingkungan. Tertib pemanfaatan ruang dilakukan oleh masyarakat dengan diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Disisi lain pola ruang harus dirumuskan berdasarkan daya dukung dan daya tampung Kota Malang kedepan. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penanganan banjir di Kota Malang yaitu; pertama, Daya dukung Derah Aliran Sungai (DAS). Daya dukung DAS perlu perhatian lebih oleh pemerintah maupun masyarakat jika tidak ingin permasalahan banjir terus terjadi. Mengembalikan fungsi lindung di bagian hulu sungai dan penetapan sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat merupakan upaya untuk mengembalikan daya dukung DAS. Kedua, pola pengembangan saluran drainase. Pemikiran bahwa air hujan harus secepatnya dialirkan menuju hilir telah masuk dalam alam bawah sadar pengambil keputusan dalam penyelesaian banjir. Pola ini mewarnai kebijakan, program dan proyek yang dipilih, diantaranya proyek sudetan, pembuatan tanggul, pengerukan dan pengerasan dasar sungai. Pilihan tersebut dalam jangka panjang berdampak pada tidak stabilnya kesatuan ekosistem sepanjang sungai dikarenakan air yang pada awalnya dialirkan dan diresapkan kedalam tanah secara optimal sekarang berubah dengan mengalirkan hampir seluruhnya ke hilir. Pemikiran ini harus dirubah, air hujan harus dioptimalkan untuk disimpan ke dalam tanah dan bukan segera dialirkan melalui saluran drainase. Ketiga, kesalahan perencanaan dan implementasi. Perencanaan pembangunan kota seringkali belum memasukkan faktor konservasi sumber daya air sebagai faktor penting yang menjadi pertimbangan. Faktor sumber daya air masih diabaikan, terlebih kebutuhan air bersih Kota Malang dipenuhi dari sumber mata air dari Kota Batu dan Kabupaten Malang. Terlihat dari maraknya konsep pembangunan horizontal dengan kebutuhan lahan yang cukup luas dan menyebabkan berkurangnya lahan resapan secara signifikan. Perencanaan yang ideal seharusnya mempertimbangkan upaya pembangunan dilakukan secara vertikal, meskipun secara sosial agak sulit dilakukan. Demi keberlangsungan ekosistem air cara tersebut merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan masyarakat Kota Malang dalam menjaga sumber daya air. Dalam suatu kapling lahan, kegiatan pembangunan setidaknya harus menyediakan kawasan resapan air. Intervensi melalui kebijakan oleh pemerintah bisa dilakukan dengan menyiapkan peraturan daerah tentang Izin Mendirikan Bangungan (IMB). Misalnya, dipersyaratkan dalam suatu kapling harus memiliki ruang terbuka dan sumur resapan sebagai syarat mutlak. Dalam lingkup lingkungan terkecil juga bisa diimplementasikan sebagai upaya sadar terhadap pengelolaan lingkungan. Misalnya, seorang ketua RT mewajibkan warganya menanam tanaman buah/bunga jika ingin pengurusan administratifnya dilayani. Keempat, kesalahan konsep drainase. Konsep drainase yang dipakai dalam pembangunan di Kota Malang sampai sekarang masih memakai konsep konvensional yaitu mengalirkan air secepatnya ke hilir. Hal tersebut salah dan paradigma seperti itu harusnya mulai diubah dengan bagaimana memasukkan air sebanyak banyaknya kedalam tanah. Paradigma tersebut dibutuhkan jika masyarakat Kota Malang kedepan tidak ingin merasakan permasalahan banjir saat hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Saluran drainase setidaknya masih memungkinkan untuk meresapkan air (eko-drainase). Kelima, faktor sosial. Faktor sosial ini adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat akan sumber daya air yang dan pemanfaatannya. Terbukti dengan banyaknya masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai. Sungai seakan berfungsi sebagai tempat sampah, sebagai bagian belakang yang kotor. Dalam mengatasi permasalahan ini perlu adanya koordinasi antara pemerintah kota dengan masyarakat dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa betapa pentingnya menjaga keberlangsungan sumber daya air. Keberadaan permukiman di sepanjang sungai di Kota Malang bisa diangkat sebagai icon baru yang menarik dengan menata kawasan tersebut. Konsepsi waterfront city bisa diadopsi untuk menata permukiman masyarakat dengan tidak kalah pentingnya upaya untuk menyadarkan masyarakat terhadap lingkungan. (AS)