WILAYAH PERBATASAN LAUT DAN KEJAYAAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM

Indonesia sebagai negara maritim, dengan 2/3 wilayahnya berupa lautan dan memiliki hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE serta landas kontinen serta hak pengelolaan sumber daya alam di laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki dengan garis pantai sekitar 81.000 km, berbatasan dengan banyak negara baik berbatasan darat (kontinen) maupun berbatasan laut (maritim). Sepuluh negara berbatasan dengan laut Indonesia antara lain India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Wilayah perbatasan laut perlu penataan dan pengelolaan yang lebih baik mengingat adanya potensi sumberdaya pesisir menyebabkan peluang terjadinya konflik dengan negara tetangga.

Nawa Cita Presiden Jokowi dan Pendekatan Pembangunan

Program Nawa Cita Presiden Jokowi salah satunya membangun dari pinggiran (wilayah perbatasan) menjadi dasar penting dalam penetapan wilayah perbatasan menjadi program prioritas pembangunan. Program pembangunan nasional dengan daerah terkait pengelolaan perbatasan harus terpadu untuk menjamin keutuhan, kedaulatan wilayah serta menjamin kesejahteraan masyarakat. Paradigma baru dalam pengembangan wilayah perbatasan yaitu pendekatan pembangunan wilayah perbatasan menggunakan prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) dengan tidak meninggalkan security approach (pendekatan keamanan). Kondisi keamanan harus stabil dan kondusif sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat. bisa lebih fokus dilaksanakan. Munculnya paradigma tersebut disebabkan oleh system politik dimana masa lampau yang cenderung sentralistik dan terlalu menekankan pada stabilitas keamanan. Historis menunjukkan hubungan antara Indonesia dengan  beberapa negara tetangga seringkali dilanda permasalahan seperti pemberontakan-pemberontakan di negeri tetangga. Konsekuensinya, penanganan wilayah perbatasan lebih didominasi upaya untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar saja dan cenderung menempatkan wilayah perbatasan sebagai daerah operasi keamanan tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakatnya.

Pentingnya Kesepakatan dan Penetapan Batas Wilayah Negara

Tegaknya kedaulatan dan hukum perbatasan harus didukung penetapan batas-batas laut secara lengkap. Ketentuan Hukum Laut Internasional menjadi dasar yang selanjutnya diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985. Penetapan batas maritim sangat dibutuhkan untuk menjamin kepastian hukum yang mendukung berbagai aktivitas pesisir dan kelautan, seperti penegakan kedaulatan dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya. Batas maritim Republik Indonesia dengan negara tetangga mencakup batas laut wilayah, batas perairan ZEE, batas dasar laut atau landas kontinen. Belum disepakati penentuan batas maritim antara pemerintah Indonesia dengan negara tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan konflik dikemudian hari terkait saling klaim wilayah pengelolaan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan maupun potensi tambang migas. Beberapa permasalahan perbatasan yang ada antar Indonesia dan Malaysia menyebabkan hubungan mengalami pasang surut merupakan cerminan rentannya perairan terluar negara.

Permasalahan dan Menangani Wilayah Perbatasan

Permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan yang berdampak langsung dengan kesejahteraan masyarakat antara lain kemiskinan, infrastruktur wilayah yang belum memadai, isolasi wilayah dengan kesulitan akses, sumber daya manusia (SDM) yang belum siap, kontrol aktivitas lintas batas belum optimal dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Pertama, kemiskinan menjadi salah satu permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga tidak sejahtera di wilayah perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan negara tetangga. Faktor penyebabnya adalah akumulasi berbagai aspek, seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah perbatasan. Implikasi dari tingginya angka kemiskinan masyarakat di wilayah perbatasan bisa mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini berpotensi menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi dan keamanan juga terjadi di wilayah perbatasan laut seperti penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Pengembangan wilayah berbasis potensi sektoral bisa menjadi pilihan utama, misalnya pengembangan wilayah perbatasan dengan konsep agropolitan, minapolitan, tambang maupun industri pengolahan. Kedua, infrastruktur wilayah belum memadai untuk mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangnya wilayah perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon di wilayah perbatasan umumnya masih relatif minim. Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara tetangga daripada informasi dan wawasan tentang Indonesia yang merupakan negaranya sendiri. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah negara tetangga. Secara umum infrastruktur yang diharapkan sebagai daya ungkit wilayah, mendukung terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru belum bisa terwujud. Ketiga, isolasi wilayah dengan kesulitan akses baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di wilayah Kalimantan Utara, sulitnya aksesibilitas menjadikan kecenderungan masyarakat Indonesia di perbatasan lebih memilih untuk berinteraksi dan beraktivitas sosial ekonomi dengan masyarakat di negara tetangga. Minimnya asksebilitas dari dan keluar wilayah perbatasan wilayah berdampak pada orientasi masyarakat yang aktivitas sosial ekonominya cenderung berkiblat ke negara tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat perbatasan. Disini pemerintah harus hadir dan dekat dengan masyarakat melalui pelayanan publik yang handal khususnya untuk meningkatkan aksesibilitas. Keempat, sumber daya manusia (SDM) yang belum siap sebagai pelaku utama pembangunan. Hal ini terjadi karena minimnya sarana dan prasarana dibidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi wilayah perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah negara tetangga.   Penambahan fasilitas dan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan hal penting yang harus segera mendapat perhatian pemerintah dalam melengkapi pelayanan fasilitas umum di beranda negara. Kelima, kontrol terhadap aktivitas lintas batas belum optimal. Batas negara seakan tidak menjadi masalah bagi masyarakat yang berada di wilayah perbatasan. Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa wilayah perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak dan Melayu), menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antar negara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan wilayah perbatasan darat. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama namun sampai saat ini belum dapat ditangani dengan baik oleh kedua pihak (negara). Adanya tanah adat/ulayat masyarakat yang dikelola oleh masyarakat di wilayah perbatasan menjadi ladang penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.

Mengelola Wilayah Perbatasan Terpadu

Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak untuk dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dibentuknya Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) yang bertanggungjawab dan kepanjangan tangan pemerintah dalam pengelolaan wilayah perbatasan merupakan terobosan untuk menghadirkan negara lebih dekat. Dengan berbagai ancaman serius di perbatasan mulai aspek sosial, ekonomi, keamanan dan lainnya yang mungkin terjadi di wilayah perbatasan sehingga mengganggu kedaulatan negara Indonesia, dibutuhkan langkah tegas oleh semua jajaran pemerintah, maupun aparat keamanan. Partisipasi masyarakat Indonesia dalam bekerja sama membangun dan menjaga wilayah perbatasan sangat penting dilakukan. Masyarakat harus paham akan batas batas wilayah perbatasan antar negara, tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan negara kita sendiri dan menguntungkan negara tetangga. Masyarakat bersama aparat keamanan yang bertugas di wilayah perbatasan termasuk di pulau-pulau terluar harus berkolaborasi dalam pengawasan perbatasan terluar guna menghindari terulangnya kasus Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia. Mengenai penentuan batas wilayah yang jelas, bisa dilakukan dengan koordinasi dan bekerjasama dengan negara lain dan tetap menjaga hubungan bilateral. Permasalahan batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera di selesaikan dan disepakati oleh kedua negara. Bukan dengan saling menangkap kapal atau saling klaim wilayah perairan. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia seharunya lebih proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan Negara tetangga, dengan demikian keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang kuat bisa terealisasi.