* tulisan ini dinyatakan sebagai pemenang sayembara karya tulis dalam rangka peringatan Hari Bakti Pekerjaan Umum (HARBAK PU) yang ke-74 yang diselenggarakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Monggo bisa difollow IG BBWS Bengawan Solo di: @bbwsbsolo
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan terjadinya keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini menuntut kolaborasi stakeholder terkait bersinergi mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengendalian/evaluasi. Sejarah mencatat, agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia diakomodir pasca Konferensi Stockholm 1972. Regulasi pun telah disiapkan untuk mengatur aspek ekologis dan keberlanjutannya yang hingga saat ini telah terjadi 3 kali perubahan undang-undang lingkungan hidup.
Waduk Cengklik yang berada di Kabupaten Boyolali memiliki peran penting mendukung irigasi pertanian, kegiatan perikanan dan destinasi wisata air. Dinamika wilayah yang berkembang telah menjadikan aspek lingkungan hidup bukan prioritas lagi untuk dipertimbangkan. Hasilnya pun terlihat, pertumbuhan ekonomi bergerak maju tetapi kualitas lingkungan hidup terus mengalami kemunduran seperti banjir, debit air terbatas dan penurunan kualitas air terutama di daerah tangkapan air. Saat ini fungsi utama Waduk Cengklik sebagai penunjang irigasi pertanian terlihat kurang optimal, mengingat elevasi waduk yang terus menyusut, sehingga petani yang menggantungkan kebutuhan air terancam kelangsungan budidaya pertaniannya. Identifikasi lapangan menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi mulai dari sektor perikanan (KJA), pertanian pada area pasang surut serta permukiman di sekitar waduk telah menjadikan keberlanjutan Waduk Cengklik semakin terancam.
Waduk Mendukung Ketahanan Pangan, Energi dan Destinasi Wisata
Air sebagai sumber kehidupan dan memengaruhi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Ketersediaan sumber daya air dengan kecenderungan menurun disisi suplai dan meningkat disisi kebutuhan merupakan tantangan yang saat ini dihadapi. Iklim tropis dengan enam bulan basah dan enam bulan kering seakan menjelaskan, ketersediaan air di beberapa wilayah tidaklah terjamin pemenuhannya sepanjang tahun. Permasalahan pun muncul, banjir semakin meningkat pada periode basah dengan dampak kerusakan infrastruktur, kawasan permukiman, gagal panen dan bahkan jatuhnya korban jiwa. Periode musim kering tidak kalah mengerikan dampaknya karena ketersediaan air yang jauh dari cukup berimplikasi pada lahan pertanian gagal panen, tidak cukupnya sumber air baku untuk konsumsi masyarakat dan lainnya. Periode musim tentunya bisa dioptimalkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan ketersediaan air. Program Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla salah satunya mewujudkan ketahanan pangan dan air nasional. Sehingga permasalahan ketersediaan sumber daya air ini harus segera diselesaikan dan menjadi prioritas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada periode tahun 2015-2019 menargetkan 65 bendungan yang terdiri dari pembangunan 16 bendungan lanjutan dan 49 bendungan baru. Selain itu juga diprogramkan pembangunan jaringan irigasi baru seluas 1 juta hektar dan merehabilitasi 3 juta hektar irigasi yang rusak. Pembangunan bendungan akan meningkatkan suplai air untuk lahan pertanian secara lebih merata dan kontinu. Adanya suplai air dari bendungan, petani yang sebelumnya hanya satu kali tanam setahun, nantinya akan bertambah menjadi 2-3 kali setahun. Saat ini dari 7,3 juta hektar lahan irigasi, hanya sekitar 11% yang mendapatkan pasokan air dari bendungan. Harapannya setelah 65 bendungan selesai dibangun, daerah irigasi yang akan dipasok airnya dari bendungan akan bertambah menjadi 19-20%.
Tidak hanya untuk mendukung ketahanan pangan, sumber daya air juga potensial untuk mendukung sektor lain yaitu pengembangan destinasi wisata, dan sumber energi alternatif. Tentunya faktor keberlanjutan sumber daya air harus tetap diprioritaskan sehingga dapat menciptakan harmoni antara pemanfaatan pengembangan wilayah dan pelestarian. Dengan prinsip pengembangan sumber daya air yang berkelanjutan maka akan terbentuk tatanan yang lebih baik terkait dengan pemanfaatan sumber daya air dalam pengembangan wilayah.
Perlindungan Waduk Cengklik Melalui Penetapan & Pengaturan Daerah Sempadan
Peraturan Menteri PUPR No 27 Tahun 2015 tentang Bendungan Pasal 109 ayat 1 menyatakan bahwa garis sempadan waduk ditetapkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan dari pengelola bendungan. Garis sempadan waduk merupakan batas luar perlindungan waduk dan kawasan perlindungan waduk yang meliputi ruang antara garis muka air waduk tertinggi dan garis sempadan waduk.
Dinamika dan perkembangan kawasan terjadi di Waduk Cengklik dan sekitarnya. Kawasan yang berada di batas dalam garis sempadan waduk telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial ekonomi. Peruntukan yang belum mendukung fungsi kawasan konservasi, terdapat kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA), ada permukiman penduduk, ada warung serta kegiatan pertanian. Pada radius o meter atau dalam badan air di Waduk Cengklik ditemukan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukan yaitu perumahan seluas 0,4 Ha dan perdagangan dan jasa (warung) seluas 743,3 meter persegi (survei Tim Globetek, Agustus 2019). Pada radius 0-50 meter dari Waduk Cengklik teridentifikasi 317 unit bangunan yang terdiri dari perumahan, perdagangan dan jasa, sarana perkantoran, sarana peribadatan serta pergudangan dengan total luasan 5,04 Ha. Selain lahan terbangun pada radius ini juga ditemukan peruntukan lahan berupa lahan pekarangan, sawah, ladang serta jalan dengan total luasan 44,85 Ha (hasil overlay peta Waduk Cengklik dengan penggunaan lahan eksisting, Agustus 2019). Sebuah isyarat, betapa kuat desakan sosial ekonomi terhadap lingkungan hidup di Waduk Cengklik.
Melihat kondisi di lapangan dan ancaman permasalahannya, sangatlah mendesak untuk segera menetapkan garis sempadan waduk dan upaya pengaturannya. Penetapan garis sempadan Waduk Cengklik dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada waduk dapat dilaksanakan dengan optimal. Penetapan garis sempadan waduk bertujuan agar: 1) fungsi Waduk Cengklik tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya; 2) kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di waduk dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi waduk; dan 3) daya rusak air waduk terhadap lingkungannya dapat dibatasi. Variabel yang diacu dalam penetapan garis sempadan Waduk Cengklik merujuk pada “Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau; dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan” dengan variabelnya meliputi: hukum (peruntukan lahan, status kepemilikan lahan), lingkungan, sosial, ekonomi, dan teknis. Perlahan dan pasti harus ada upaya penegakan aturan dalam rangka mengembalikan kondisi ekologis Waduk Cengklik berdasarkan undang-undang (UU), perarturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (PerMen). Kegiatan perikakan keramba jaring apung (KJA) sesuai dengan aturan tidak diperbolehkan diusahakan di badan air waduk, harus ada upaya relokasi KJA yang saat ini. Kegiatan pertanian yang berada di area pasang surut pun juga seharusnya tidak diperbolehkan untuk kegiatan budidaya. Sedangkan kegiatan perumahan dengan status kepemilikan aset pengelola waduk dengan berada di sempadan Waduk Cengklik akan ditetapkan sebagai “status quo” yang artinya bangunan rumah tidak diijinkan untuk ditambah, diperbaiki/direnovasi dan apabila mengalami kerusakan dan akan dibangun kembali maka ijin tidak akan dilkeluarkan. Mekanisme relokasi dan pemberian ganti rugi bisa dilakukan pengelola waduk dengan mekanisme yang telah diatur menurut peraturan perundangan. Jika lahan dan bangunan yang berada di sempadan waduk dengan status kepemilikan SHM, maka sudah selayaknya masyarakat mengetahui bahwa status boleh hak milik tetapi pengaturan penggunaan lahannya harus mengikuti ketentuan pengaturan sempadan waduk.