Pola Interaksi Masyarakat Perbatasan Negara di Kabupaten Pegunungan Bintang PAPUA – Papua New Guinea (PNG)

Kawasan perbatasan merupakan ‘arena’ terjadinya kejahatan lintas batas dan pada saat yang bersamaan, kawasan perbatasan juga menjadi tempat pertukaran budaya dan sosio-ekonomi secara dinamis yang didukung dengan nilai historis kedua negara (Blum, 2014). Menurut Hadiwijoyo (2009) Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan telah disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi dan sosio-budaya setelah terjadinya kesepakatan antara dua negara berbatasan.

Meskipun garis perbatasan telah tergambar dengan jelas di peta dan juga telah terdapat kesepakatan antar negara yang berbatasan, pada kondisi eksitingnya sangat berbeda. Tidak peduli seberapa banyak penempatan petugas di perbatasan, seberapa jelas batas yang telah disepakati, dan seberapa banyak Pos Lintas Batas (PLB) yang dibangun, masyarakat akan mengabaikan garis perbatasan tersebut untuk menyesuaikan kebutuhan mereka (Baud dan Van Schendel, 1997).

Menurut pendapat Bandiyono, et al (2004), pergerakan atau mobilitas penduduk adalah salah satu permasalahan di kawasan perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).  Untuk dapat mengantisipasi pembangunan di kawasan perbatasan tidak lepas dari perlunya memahami tentang determinan dan proses pergerakan lintas batas (mobilitas) penduduk. Penyebab terjadinya mobilitas penduduk adalah wujud responsif dari penduduk terhadap perbedaan situasi dan kondisi antara dua wilayah.  Penyebab terjadinya kegiatan pergerakan lintas batas antara Papua dan PNG baik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku atau legal, maupun yang bersifat illegal sangat beragam (Setyawan, 2009).

Pergerakan lintas batas negara juga terjadi di kawasan perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang.  Kabupaten Pegunungan Bintang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang terdiri dari 34 distrik dimana terdapat 8 distrik yang berbatasan langsung dengan PNG. Menurut Bandiyono, et al (2004), Penduduk asli Papua di Negara Indonesia dan di Papua New Guinea memiliki hubungan tradisional dan kebiasaan. Sebelum adanya konsep negara dan peraturan formal, hubungan tersebut tidak menimbulkan masalah. Semenjak adanya konsep negara maka hubungan ini dianggap menjadi salah satu celah untuk menurunkan rasa nasionalisme, dan juga berpengaruh pada tingkat keamanan di wilayah perbatasan.

Berdasarkan profil Kabupaten Pegunungan Bintang, faktor kebudayaan diantaranya tanah ulayat dan batas administrasi suku asli kabupaten dan Papua New Guinea. Ada faktor sosial seperti hubungan kekeluargaan, faktor ekonomi seperti kegiatan jual-beli, dan faktor keamanan seperti adanya gerakan separatis dan kurangnya penjagaan di kawasan perbatasan sangat memengaruhi pergerakan di kawasan perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang. Pergerakan lintas batas yang dilakukan masyarakat di kawasan perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang didominasi oleh pergerakan lintas batas yang bersifat illegal, dengan tujuan pergerakan yang didominasi aktivitas sosial budaya yaitu mengunjungi keluarga, pernikahan, berburu dan upacara adat; aktivitas ekonomi, yaitu berladang, berbelanja, dan berdagang.

Sejarah Perbatasan Negara di Kabupaten Pegunungan Bintang – PNG

Sebelum adanya pembagian kekuasaan pada masa kolonialisme, Papua merupakan satu kesatuan yang utuh dan terdiri dari beberapa ratus suku yang mendiami wilayah-wilayah tertentu pada pulau tersebut. Pada masa kolonialisme, Papua terbagi menjadi wilayah jajahan Negara-negara Eropa, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman (Setiawan, 2011).

Terbaginya wilayah Papua menjadi dua didasarkan pada garis astronomis mengakibatkan adanya wilayah tradisional yang terbagi menjadi dua negara. Wilayah tradisional yang dimaksud adalah wilayah dimana terdapat kelompok suku dengan budaya yang sama. Meskipun telah memiliki batas yang telah disepakati kedua negara, menurut Bandiyono et al (2004; 21), garis batas wilayah di Papua dapat mengacu pada dua bentuk pendekatan, yaitu batas administrasi dan batas kultural. Garis kultural dapat dijadikan sebagai acuan pembentukkan wilayah administrasi baru pada di Provinsi Papua.

Garis kultural juga memiliki peran besar dalam interaksi penduduk di kawasan perbatasan karena interaksi yang terjadi sangat terpengaruh oleh ikatan adat yang telah ada sejak zaman dahulu. Pada suatu wilayah perbatasan akan terjadi interaksi apabila di wilayah tersebut terdapat kelompok yang berhubungan secara adat atau berkerabat.  Interaksi yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan sistem perundangan yang berlaku, selain karena tidak adanya fasilitas pos lintas batas (CIQS), masyarakat menganggap perpindahan yang dilakukan adalah hal yang lumrah dilakukan.

Isu lain yang mengakibatkan tingginya pergerakan lintas batas di Pulau Papua adalah masih berjalannya pergerakan separatis yang dilakukan masyarakat Papua dengan tujuan untuk memisahkan wilayah Papua dari Indonesia. Banyaknya refugee serta aktivis dari Papua yang bergerak menuju PNG juga menjadi salah satu penyebab besarnya pergerakan lintas batas yang terjadi di Papua.

Permasalahan Pergerakan Lintas Batas

Terdapat empat permasalahan yang dapat diidentifikasi terkait pergerakan lintas batas di kawasan perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea, permasalahan tersebut antara lain:

  1. Berbeda dengan pergerakan lintas batas di kawasan perbatasan Jayapura (Papua-PNG) yang memiliki prosedur tertentu dan mengharuskan menggunakan kartu lintas batas untuk tujuan sosial-budaya dan paspor untuk tujuan selain sosial-budaya. Pergerakan lintas batas Kawasan Perbatasan Papua-PNG di Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi pergerakan yang tidak terdata karena tidak melewati prosedur tersebut (Peraturan BNPP No. 1 Tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perbatasan tahun 2015-2019).
  2. Terdapat tiga distrik di kawasan perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang yang menjadi lokasi prioritas (lokpri) dengan fungsi sebagai akses lintas batas. Tiga distrik tersebut adalah Distrik Batom, Distrik Kiwirok Timur, dan Distrik Iwur, namun pada ketiga distrik tersebut belum terdapat sarana PLBN atau sarana yang mendukung fungsi lokpri tersebut. Hal ini menyebabkan pergerakan di kawasan perbatasan Papua khususnya di Kabupaten Pegunungan Bintang masih bersifat illegal (Peraturan BNPP No. 1 Tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perbatasan tahun 2015-2019).
  3. Persoalan hubungan Indonesia-PNG yang terkait dengan pergerakan lintas batas penduduk memerlukan pemahaman, dan diperlukannya kajian mengenai kawasan perbatasan Indonesia-PNG yang masih terbatas sehingga memerlukan pelaksanaan studi-studi pada berbagai bidang (Bandiyono et al, 2004). Belum adanya penelitian terkait kawasan perbatasan, khususnya pergerakan lintas batas di kawasan perbatasan Indonesia-PNG di wilayah Pegunungan Tengah Papua, namun terdapat tiga distrik di Kawasan Perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang yang telah ditentukan menjadi Lokpri dengan fungsi sebagai exit-entry point (Pos Lintas Batas) memerlukan pelaksanaan studi-studi pada berbagai bidang terutama pada topik pergerakan lintas batas.
  4. Adanya organisasi illegal selain OPM yang beroperasi di Kawasan Perbatasan, OSEA (Organisasi Serikat Ekonomi Aman) yang dibentuk oleh masyarakat asli dan berdomisili di salah satu kampung di Distrik Iwur). Organisasi ini memiliki anggota dari Papua New Guinea juga penduduk yang dulunya adalah bagian dari OPM. Adanya kegiatan-kegiatan organisasi yang dapat diadakan di Indonesia maupun di PNG dan mengharuskan kehadiran anggotanya membuat semakin intensifnya pergerakan lintas batas yang terjadi di kawasan perbatasan Indonesia-PNG, khususnya di kawasan perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang.

Kawasan Perbatasan Distrik Iwur Kabupaten Pegunungan Bintang

Distrik Iwur merupakan salah satu distrik lokpri I di Provinsi Papua yang menjadi salah satu jalur pergerakan lintas batas di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Wilayah Distrik Iwur memiliki luas 833 Km2 dan terletak pada ketinggian 1.010-4.170 meter di atas permukaan laut. Kelerengan lahan di wilayah Distrik Iwur relatif sangat terjal yaitu antara 0-45% dan persentase terbesar terdapat pada 45%. Tutupan lahan yang ada di wilayah Distrik Iwur meliputi hutan lahan kering primer dan dan semak belukar. Kawasan hutan yang ada di wilayah Distrik Iwur adalah hutan lindung dan hutan produksi. Pertanian menjadi potensi pengembangan utama karena mayoritas masyarakat memiliki matapencaharian sebagai petani. Produksi padi di Distrik Iwur merupakan produksi terbesar di antara distrik lain yang terdapat di Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun 2011. Distrik Iwur berbatasan dengan 3 distrik dan dua distrik di Negara PNG yaitu Distrik Telefomin dan Distrik North Fly.

Distrik Iwur memiliki 12 wilayah kampung, namun hanya 10 kampung yang terdaftar di BPS Kabupaten Pegunungan Bintang. Sepuluh kampung tersebut, antara lain: Ulkubi, Walapkubun, Iwur, Kurumkin, Dinmot Arim, Ewenkatop, Namger, Kamyoim, Dipol, Nenginum. Pada awal tahun 2017 ditemukan Kampung Digi yang berada di wilayah NKRI berdasarkan informasi TNI Yonif Raider 700/Wira Yudha Cakti. Pada kampung ini terdapat kurang lebih 30 KK. Awalnya terdapat kurang lebih 100 KK di Kampung Digi, namun karena kurangnya pengetahuan masyarakat terkait batas negara, dan juga karena sulitnya aksesibilitas menuju kampung terdekat di Indonesia, maka sebagian besar masyarakat memilih berpindah ke PNG.

Jenis Penentuan Kawasan Perbatasan Indonesia – PNG

Terdapat dua jenis penentuan batas wilayah dalam pembagian pulau Papua menjadi dua wilayah negara (Indonesia dan Papua New Guinea), yaitu: Natural Border, atau batas alam (titik terdalam Sungai Fly) yang berada di antara Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke di Papua, serta wilayah Provinsi Western di PNG. Artificial Border, atau batas buatan berupa patok perbatasan yang dibangun sepanjang pulau mengikuti garis astronomis 141º 01’00”BT mulai dari utara Papua hingga ke selatan sampai ke natural border yang kemudian dilanjutkan hingga selatan sampai memotong meridian 141 º 01’ 10” BT. Meskipun demarkasi antara Indonesia dan PNG telah dilaksanakan dan menghasilkan keputusan bahwa garis perbatasan Papua-PNG adalah sepanjang +820 Km dan dibatasi oleh total 52 pilar perbatasan, berdasarkan data BNPP Tahun 2015, batas wilayah antara Papua-PNG masih belum optimal dan belum terselesaikan. Hal ini disebabkan oleh adanya kepemilikan lahan yang tumpang tindih di antara suku-suku perbatasan sehingga penetapan batas negara khususnya Papua-PNG membutuhkan adanya konsolidasi dengan suku-suku di perbatasan. Masalah dari panjangnya garis perbatasan adalah sulitnya kedua negara untuk melakukan pemeliharaan tanda batas negara tersebut. Salah satu upaya melakukan pemeliharaan patok batas Papua-PNG oleh Indonesia dilakukan pada akhir tahun 2016.

Pergerakan Lintas Batas di Kawasan Perbatasan Iwur

Terdapat tiga jalur yang sering dilalui masyarakat Distrik Iwur menuju PNG atau pun masyarakat dari PNG yang menuju Distrik Iwur, jalur tersebut antara lain, Kampung Marantikin di Distrik Tarub (sebelah Timur Distrik Iwur), Jalur Ok Tedi (salah satu daerah pertambangan di PNG), dan yang terakhir ada jalur yang dilalui Masyarakat Kampung Digi. Pergerakan lintas batas dilakukan secara berkelompok beranggotakan 3 sampai 10 orang yang berasal dari beberapa keluarga. Semua pergerakan dilakukan tanpa melalui Pos Lintas Batas. Pergerakan dilakukan dengan berjalan kaki melalui beberapa jalur Dari 204 responden yang menjadi sampel penelitian terdapat 123 penduduk pelaku pergerakan lintas batas. Sampel tersebut terdiri dari 138 Penduduk Indonesia dan 66 Penduduk PNG.  Penduduk yang paling sering melakukan pergerakan adalah penduduk laki-laki baik penduduk Indonesia maupun penduduk PNG. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar penduduk tidak pernah bersekolah (Tabel 3). Berdasarkan pekerjaan, sebanyak 172 responden bekerja sebagai petani, 21 responden bekerja sebagai ibu rumah tangga, 1 responden bekerja sebagai pendeta, 1 responden bekerja sebagai perawat, 3 responden bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), 6 responden tidak bekerja. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 30 responden yang terdiri dari 20 penduduk Indonesia dan 10 penduduk PNG merupakan anggota OSEA yang melakukan pergerakan lintas batas.

Karakteristik Pergerakan Lintas Batas

Selama tahun 2016, 123 responden telah melakukan total 451 pergerakan lintas batas. Pergerakan yang dilakukan apabila dilihat dari aspek lama tinggal maka jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu migrasi dan sirkuler (Mantra, 2000), apabila tipe pergerakan maksud dan tujuan maka jenisnya terbagi menjadi 4 (Gunawan et al, 2007 dan Setyawan, 2009), yaitu: 1) maksud tujuan ekonomi yang terdiri dari tiga tujuan, yaitu, belanja, berdagang, dan berladang; 2) maksud tujuan sosial, terdiri dari dua tujuan yaitu mengunjungi keluarga, dan mendapat fasilitas pelayanan fasilitas umum, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan; 3) maksud tujuan budaya, terdiri dari tiga tujuan, yaitu pernikahan, berburu, dan upacara adat, serta; 4) maksud tujuan politik, hanya terdapat satu tujuan yang termasuk dalam maksud tujuan politik, yaitu kegiatan organisasi.

Maksud tujuan yang paling banyak memengaruhi pergerakan lintas batas penduduk di kawasan perbatasan Distrik Iwur adalah berladang dan belanja yang termasuk dalam maksud tujuan ekonomi dan yang paling sedikit dilakukan adalah pergerakan lintas batas dengan maksud/tujuan politik atau kegiatan organisasi. Waktu pergerakan terbanyak yang dilakukan untuk tujuan berladang adalah ketika musim panen tiba sedangkan waktu pergerakan terbanyak yang dilakukan untuk belanja adalah waktu yang dekat dengan hari besar keagamaan, seperti Paskah, Natal, dan Tahun Baru, dan juga ketika musim panen tiba. Pergerakan lintas batas didominasi pergerakan yang bersifat sirkuler atau sementara dengan waktu tinggal 1 sampai 30 hari. Pergerakan yang bersifat tetap terdiri dari 6 pergerakan. Lama perjalanan yang ditempuh juga beragam, yaitu dari 3 hari hingga 1 minggu. Responden paling banyak melakukan pergerakan lintas batas dengan lama pergerakan 10 sampai 12 hari. Selain tujuan dan lama pergerakan, frekuensi pergerakan yang dilakukan penduduk kawasan perbatasan juga menjadi salah satu faktor yang diteliti.. Jumlah pergerakan lintas batas yang paling banyak dilakukan pada tahun 2016 adalah sebanyak 9 pergerakan atau lebih dari 8 pergerakan. Responden yang melakukan pergerakan lintas batas di Distrik Iwur didominasi oleh responden penduduk yang melakukan pergerakan lintas batas 3 sampai 4 pergerakan dalam setahun.

Faktor-faktor yang memengaruhi Interaksi Kawasan Perbatasan di Kabupaten Pegunungan Bintang – PNG. 

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi Interaksi Kawasan Perbatasan Distrik Iwur menggunakan regresi logistik biner dengan variabel dummy. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi pergerakan lintas batas di Kawasan Perbatasan Kabupaten Pegunungan Bintang, khususnya Distrik Iwur. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terdapat 11 variabel yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pergerakan lintas batas, yaitu jenis kelamin, usia, status pernikahan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, menjadi anggota dari organisasi separatis, pendapatan, kepemilikan properti atau tanah ulayat di Negara yang berbatasan, suku, dan aktivitas adat yang diikuti. Berdasarkan hasil dari analisis regresi terdapat 4 variabel yang berpengaruh secara signifikan (Nilai B < Sig. 0,05), variabel tersebut adalah keanggotaan dengan organisasi separatis, status pekerjaan, aktivitas adat yang diikuti, dan asal suku.